Jumat, 25 Maret 2011

SATU JEMPOL UNTUK AAFIA

   Seperdua malam terakhir masih sunyi. Bahkan sudah sejak lima belas menit yang lalu, lonceng jam terdengar berdentang. Namun mata itu tetap bersinar terang, seakan tengah berkompetisi dengan bohlam besar yang tergantung antik di atasnya. Sesekali mulutnya komat-kamit sambil mengulum senyum geli. Bukan untuk insomnia akut yang tiba-tiba menyerangnya, ataupun untuk kegilaan akan dunia jejaring sosial yang ternyata lebih menyenangkan dari apa yang selama ini ada dalam ekspektasinya. Tapi untuk sesuatu yang baru ditemukannya setelah sekian lama membatu. Yah, tentu saja ia sadar, ia bukanlah orang pertama yang melakoni hal sinting itu, sudah ada ratusan bahkan mungkin ribuan. Tapi tak apa, baginya itu tak masalah. Ini bukan sekedar sebuah ‘hubungan’ misterius melalui dunia antah berantah berlabel Facebook, bukan juga jenis penyakit baru hasil dari penggunaan Cyber yang berlebih sejak era millenium. Ini hanya masalah klasik yang cukup di jelaskan dengan satu kata. Tak perlu banyak cing-cong dan semua beres. Itulah seyogyanya yang menghubungan benang-benang putus antar manusia selama masa purbakala, dan kemudian tersambung kembali dengan sangat luar biasa di abad modern. Komunikasi Hyperteks, begitu para orang agung menyebutnya. Dunia tanpa batas. Jauh di mata dekat di hati. Hm, sungguh sebaris kalimat yang begitu terasa manis saat kita merasa mendapatkan orang yang tepat untuk diperdengarkan
“Hey Aafia, boleh minta tolong?”
Sebaris pesan di chat roomnya kembali hadir setelah absen beberapa menit,
“Apa?” balasnya
“Join alamat ini ya, dan beri aku satu jempolmu”
Aafia tersenyum sesaat, “Lagi?”
“Yang dulu kan gak berhasil. Please…”
“Ok. Tungguin ya, aku coba dulu”
Sesaat kemudian jari Aafia mengklik alamat yang sengaja di tulis oleh Andra, teman chat yang telah mengajarinya dengan sangat baik bagaimana cara menjadi pecandu situs jejaring social.
“Udah tak kasih jempol. Coba di cek” tulisnya pada ruang chatroomnya bersama Andra.
“Thankz” balas Andra dengan sebuah emoticon senyum di belakangnya. Aafia tersenyum sejenak sebelum jemarinya kembali menari di atas Tuts keyboard.
“Emangnya seperapa penting jempolku untukmu hah?”
“Seperti Lidi, kalau hanya sebatang mungkin memang tak ada gunanya. Tapi coba kau kumpulan seribu batang, yakin saja kau bisa mendapatkan manfaat dari keberadaanya. Secara prinsipil, lidi itu sama kayak jempol yang aku minta”
“Hm, benar juga ya. Aku boleh minta jempolmu juga kan?”
“Untuk apa?”
“untuk Jimat. Di rumahku banyak tikus, kali aja jempolmu bisa buat usir tu tikus. Hehehe….”
Aafia tersenyum simpul sesaat sebelum menekan tombol enter pada tuts Keyboardnya. Ia tak tau, apakah Andra yang tengah duduk di seberang sana akan tersenyum dengan kalimat yang dikirimnya atau tidak. Namun ia berani bertaruh, jika benang-benang rasa sesama manusia masih sesakral sebelum kehadiran Makhluk asing bernama Internet, Andra pasti akan melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukannya. Juga yang dilakuakan orang-orang yang mendapatkan teman baru di manapun ia berada. Setetes kebahagiaan, dan seperangkat hadiah berujung senyum di setiap pertemuan. Sungguh. Hidup menjadi lebih indah dengan kehadiran para Sahabat.
“Jempolku takkan pernah kuberikan padamu”
Balas Andra cepat, membuat Aafia manyun sejenak. Tapi baru saja ia akan mengetik kalimat balasan, pesan berikutnya muncul kembali
“Karena aku ingin, Jempolku bisa kugunakan untuk mengusap airmatamu saat kau menagis”
“Manis”
Balasnya sambil memberikan emoticon senyum, perlahan jari-jari gadis manis itu kembali bergerak, “tapi yang ku inginkan, kau selalu ada saat aku membutuhkanmu. Jangan pernah berniat untuk pergi, apalagi menghilang. Karena airmata ini tak tau kapan akan tertumpah. Jika kau menganggapku ada, tetaplah di situ, untuk Online selalu.”
“Hehehe… kayak Seykoji. Online, online.”
Balas Andra cepat. Membuat Aafia mengerutkan dahi sejenak.
“Masak seeh? Padahal aku sama sekali gak kepikiran Seykoji lho. Kok bisa ya?”
“Ya iyalah, orang yang ada di kepalamu sekarang Cuma aku kok. Hehhee…”
“Hah. Beneran? Kok aku gak ngeh? Tapi kayaknya aku masih kepikiran ama Jempol kamu deh.
“Dapat wangsit dari Jempol Neng?”
Balas Andra yang kontan membuat Aafia mengulum senyum. Wangsit? Memangnya dia Angling Dharma, yang masih selalu menunggu wangsit saat akan melakukan sesuatu. Hah! Dasar payah. Hm, mengingat Angling Dharma membuatnya bertanya-tanya, kenapa tak ada lagi stasiun Televisi yang menyajikan cinema Kolosal macam itu. Setidaknya lumayan kan? Daripada setiap hari kita harus melihat sinetron cengeng yang tak bermutu? Bagaimana mau maju bangsa ini, kalau yang di ajarkan hanya cara berbuat licik dan menangis. Pantas saja, makin hari makin bobrok saja mental anak bangsa.
“Hey, kok diam? Itu muka di lilit-lilit kenapa? Lagi cacar?”
Sebaris pesan kembali diterimanya, dahinya berkerut halus saat membaca kalimat Andra. Namun sesaat kemudian ia tersenyum geli begitu tau apa yang Andra maksudkan.
“Itu aku yang baru, sang Mujahid Cinta. Hehehe….”
“Jihad era baru ya? Boleh juga seeh, daripada Jihad gak bener. Sebel juga kadang-kadang, kenapa harus ada tindakan separatis yang mengatasnamakan salah satu Agama. Penistaan itu namanya. Sebagai umat yang beragama kita wajib marah. Udah keluar jalur tuh”
“Makanya aku buka Jalur baru”
Tulis Aafia sambil mengklik profilnya kembali, sesaat kemudian ia tersadar. Mungkin dialah orang yang paling jarang memakai foto asli untuk di pajang di situs jejaring itu. Bukannya ia tak mensyukuri pemberian Tuhan, ia hanya tak ingin melakukan terlalu banyak pembohongan public. Hm, apa boleh disebut seperti itu ya? Kebenaran sebuah foto kadang memang wajib untuk dipertanyakan, bagaimanapun juga seseorang akan sangat bernafsu untuk memasang foto terbaiknya dari sekian banyak foto yang tersedia. Itu Fitrah, dan sangat wajar. Seseorang memang cenderung selalu ingin tampil perfec di depan orang lain. Hal itu Karena selain untuk mendongkrak rasa pede, juga bisa menaikkan pasaran hingga beberapa persen. Termasuk dalam hal ini proses ‘add’ maupun ‘konfirmasi’ pertemanan. Foto profil juga bisa jadi senjata ampuh untuk orang-orang yang doyan cari sensasi. Hm, sebuah kajian Psikologis semi sosiologis ngawur yang semoga bisa segera termaafkan. Dan tolong jangan periksa profil Aafia setelah kalian membaca catatan ini.
“Jalur apa? Bushway atau satu arah?”
“Jalur para pengagum cinta . . . “
“Emang ada?” protes Andra cepat.
“Kan baru mau aku bikin”
“Termasuk Khalil Gibran ya?”
“Hey, dia udah Almarhum kali. Sama kayak aku, kayaknya sebentar lagi bakal Lowbath. Mata udah tinggal seperempat watt, dipertahankan terlalu lama bisa berimplikasi pada kemungkinan untuk tidak bisa chatting di masa depan. Jari juga udah pada kram. Aku off dulu ya, bye . . . see U”
Tanpa menunggu balasan Andra, Aafia segera me Log out akunnya. Sekilas diliriknya jam beker yang masih setia di sudut meja. Pukul 03.56 Wita. Hm, sebentar lagi subuh. Untung ia segera Off tadi, coba kalau tidak? Bisa-bisa malampun ia tak ingat kapan berlalunya.
Sekali lagi ia tersenyum, sebelum akhirnya beranjak dari duduk panjangnya dan melangkah menuju peraduan.
“Sampai jumpa lain waktu sahabat Cyberku, semoga setelah ini semakin banyak hal yang bisa kita perbincangkan. Boleh tentang dunia, tentang Jempol, tentang tulian-tulisan usang, ataupun tentang satu kata yang mampu menyatukan seluruh manusia. Satu kata yang aku bahkan lupa untuk menyebutnya di awal cerita. Satu kata yang kuberi nama, Rasa. Hm, semoga makin banyak Jempol yang bisa kau berikan padaku.” gumamnya pelan sebelum akhirnya benar-benar mengatupkan mata.
~2:40 AM, 16 December 2010-Wahyu Aafia S. : Satu Jempol Untuk Aafia-Selesai~

http://www.facebook.com/home.php#!/note.php?note_id=480614767000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar